“Sebel juga sama mama,memang apa salahnya tidak menikah dulu, seandainya mama tahu semua yang sudah kulalui selama pacaran. Menikah karena jatuh cinta bukan jaminan, karena perasaan itu lama-lama menghilang, menikah karena menyukai sikap seseorang juga tak mungkin, karena manusia selalu berubah, menikah karena butuh status juga tambah tak mungkin, memangnya gampang apa bertemu dengan orang yang menyayangimu tanpa syarat…”gerutuku hari itu.
Pagi ini, aku dan Daniel di dalam mobil, mengantri pesan makan pagi lewat drive tru. Daniel adalah sahabatku, kami bukan teman sedari kecil, juga bukan teman sekolah, kami cuma teman kantor dari kota yang berbeda, yang tiap hari akhirnya harus bertemu karena pekerjaan, tapi entah bagaimana caranya, akhirnya kami sangat akrab.
“Andai mama seperti ayah, tak terlalu memaksa, kata ayah, ne wis wayahe yo wayahe, getoo.”gerutuku lagi.
Daniel tersenyum mendengar logatku. Ia terdiam sejenak, seperti berpikir dan tiba-tiba menoleh ke arahku dan berkata dengan suara yang mengagetkan,“Hey, kita khan sudah lama berteman, aku tahu segalanya tentangmu dan kau juga yang paling tahu aku, jadi bagaimana kalo kita menikah! Aku juga malas ditanya terus sama…emmm…” Daniel mengemakan emmm lama, sepertinya berpikir mencari alasan dan akhirnya tak ketemu.
“Pokoknya ditanya terus buat nikah…” Daniel berkata asal dengan mata yang aneh dan dibuat-buat.
Aku terbelalak heran, sahabatku ini memang aneh, tapi mengajak menikah dengan gampangnya, terlalu aneh bagiku, tapi cepat-cepat aku sadar, Daniel pasti cuma asal menghiburku.
“Suit-suit aku dilamar, aduh aku terharu, ayo-ayo pasangin cincinnya sini-sini,”
jawabku lebih ngawur lagi, dan kubuat ekspresi mesum digabung dengan wajah malu-malu, dalam hatiku, ayo! Kuladeni kengacoanmu…
Daniel sewot, tapi seolah tak rela aku menang ngaco, lalu ketika giliran kami yang pesan makan, Daniel berkata pada mbak di kasir drive thru, “paket 3 satu, unagi satu dan 2 cincin pertunangan, dibawa pulang.” Mbak kasir yang tadinya sok sibuk, sempet terdiam sebentar, tapi lalu sok sibuk lagi --padahal sibuk beneran--. Kita akhirnya tertawa ngakak berdua. Setelah lelah tertawa, kita berdua terdiam bersamaan. Kami benar-benar orang aneh.
Masih di dalam mobil, menunggu pesanan diberikan, Daniel bertanya lagi,
“jadi mau khan?” sambil memainkan alis matanya naik turun.
Aku tertawa lagi, Daniel terdiam dulu, sekilas tampak raut kecewa, tapi lalu akhirnya ikut tertawa juga.
Sepanjang jalan menuju kantor, Daniel terus saja menggodaku dengan pertanyaan itu.
Lama-kelamaan jadi tak lucu lagi, dan aku baru tersadar, sepertinya Daniel juga tidak berniat melucu dengan pertanyaan itu.
“Beneran nih Dan?” tanyaku setelah kita sudah di kantor, sambil ngutak-atik disainku.
“Ya iyalah, ayolah, kapan lagi aku punya kesempatan menikah, aku khan orang aneh yang cuma bisa deket dengan layar komputer dan segelintir orang, dan dari segelitir orang itu, cuma kamu yang perempuan.”
Iya juga, aku satu-satunya teman perempuannya di kantor, mungkin juga di kota ini. Padahal Daniel tidak jelek-jelek amat, malah kadang pada momen tertentu, dia mirip Matthew Perry, tapi kalau kebiasaan ngelantur ngaco atau kuat malu berebut tempat parkir dengan pak satpam, bisa membuat perempuan ilfil, kesimpulan Daniel tentang dirinya sendiri, jadi masuk akal juga.
“Menikah itu bukan main-main Dan, kau akan menghabiskan waktumu seumur hidup dengan orang yang kau nikahi, jadi bukankah sebaiknya kita berhati-hati ketika memilihnya? jawabku.
“Kenapa kita harus memilih? Ibu, ayah, dan adikku juga bukan aku yang memilih, walau kadang ada saling sebal dengan mereka, tapi toh aku bahagia hidup dengan mereka sampai sekarang. Teman kerja juga bukan aku yang memilih, kalau aku terpaksa harus bekerja disini sampai tua, berarti aku juga akan hidup dengan kamu sampai tua, I’m oke with all of that and I will survive.” kata Daniel berapi-api.
“Eh, kalau bisa memilih orang tua, kamu pilih siapa? Aku ingin ayahku pak Harto, dan ibuku Beyonce, jadi aku punya banyak uang dan betah di rumah, karena ibuk..” ocehan Daniel kupotong paksa dengan rengekanku, “Aaaah! ngaco lagi, kukira kita bicara serius!”
”Oke sori…” Daniel tersenyum dan mendekap mulutnya sendiri dengan tangan kirinya, lalu kembali lagi menghadap layar komputer. Kami hening untuk beberapa saat.
“Kamu pikir Beyonce mau menikah sama orang tua? Punya anak kamu lagi, you freak!” jawabku sewot.
Daniel tertawa keras, ia puas, akhirnya aku terganggu juga untuk mengomentari kengacoannya.
Suatu hari di rumah ayah
“Keputusan kita benar nih?” tanyaku ragu. Kusandarkan tanganku di lengan sofa, sambil mulai menggigiti kuku tanda gelisah.
“Iyalah, kalau tidak, buat apa aku sekarang di rumahmu, mana tadi di porong macet, kaki pegel, kelamaan injak kopling, kalau semua ini tak serius, mendingan main PS di rumah.” Jawab Daniel asal. Tapi itu tak menenangkanku, dan Daniel menyadari itu, sambil menarik paksa tanganku dari kegiatan mengigit kuku, ia berkata,
“begini saja, biar kamu tenang, nanti kalau kita sudah menikah dan ternyata kamu bosan menikah denganku, kamu boleh selingkuh sama siapa aja, tapi kita tetep menikah, untuk status dan membahagiakan orang tua, bagaimana? Aku baik tidak sebagai calon suami?” Dengan dagu mendongak, senyum kekanak-kanakannya muncul di wajahnya, seketika Daniel bener-bener seperti Matthew Perry.
“Waaa! belum apa-apa sudah disuruh selingkuh, nanti kalau beneran bagaimana, waaaa!” Aku bersandar lemas di sofa dengan rengekan benar-benar ingin menangis, ide kami benar-benar konyol, bagaimana mungkin aku membiarkannya sampai di rumah ini.
“Eh, tuh ayahmu sudah selesai telefon, ayo bu, temani aku pasang tampang dewasa dan bijaksana… up lady up!” Dipegangnya lenganku dan berusaha menarikku berdiri. Kami berdua berdiri tepat pada saat ayah masuk ke ruang tamu.
“Met sore Bapak Chandra, saya Daniel….”
Dan hari itu benar –benar terjadi, Daniel datang ke rumah untuk meminta ijin kepada ayah untuk menikahiku, mama bukan main bahagianya, Daniel sepertinya berhasil menipu mereka dengan tidak bersikap konyol sama sekali hari itu. Entah mengapa, meskipun hari itu bukan hari yang paling membahagiakan, tapi cukup indah untuk dikenang.
Suatu hari di hari pernikahanku
Air mataku berkali-kali hendak menetes, tapi bu Sani tukang make-up berkali-kali juga mencegahnya dengan mendongakkan kepalaku agar air matanya tak sampai jatuh, karena itu bisa membuat jadwal make-up bisa molor. Sementara aku tak bisa berhenti berpikir apakah yang akan kulakukan ini keputusan yang tepat.
Selama 4 bulan ini aku telah terlena dengan suasana bahagia keluarga yang menyambut hangat keputusan kami. Aku juga begitu menikmati jalan-jalan bersama Daniel untuk menyiapkan berbagai hal untuk pernikahan. Aku terhanyut dalam suasana yang indah ini hingga lupa bertanya pada Daniel, apa alasan ia menikahiku? Apakah Daniel mencintaiku? Kalau ternyata tidak cinta, apakah sebuah pernikahan bisa dijalankan tanpa cinta? Bagaimana kalau ternyata dia cuma butuh status, lalu setelah menikah aku diabaikan sepanjang hidupku, waaa… Aku semakin ingin menangis dan berteriak sejadi-jadinya, untuk menghilangkan sesak di dada ini. Tapi aku tak boleh. Aku cuma bisa duduk diam dengan dada yang semakin sakit menahan gundah. Sementara semua orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Yang menyadari kegelisahanku cuma bu Sani, yang akhirnya iba juga,
“Dik, sebenarnya sangat kekanak-kanakan punya keraguan saat detik-detik terakhir seperti ini, tapi kalau Adik butuh seseorang buat diajak berunding, sebaiknya Adik langsung diskusi dengan calon suami, karena orang tua Adik pasti akan sedih dan panik kalau disambati sekarang, dan itu tidak akan menyelesaikan masalah,” kata bu Sani berusaha tenang, namun menghela nafas panjang.
“Saya tunggu adik ya, jangan lama-lama bingungnya, nanti kalau molor yang kena saya.” Sindirnya.
Lupa bilang terima kasih pada bu Sani, aku langsung saja berdiri dan setengah berlari hendak mencari Daniel. Seingatku, keluarga mempelai pria ada di rumah Pak Darmo, tetangga sebelah. Aku nekat keluar kamar pengantin, lalu keluar rumah, dan berbelok ke samping kanan rumah, tak peduli meski beberapa orang sempet memandang heran ke arahku, sang calon pengantin dengan baju tidur dan make-up setengah jadi, bahkan beberapa kali kudengar teriakan panik suara ibu-ibu, yang ku juga tak peduli apa yang mereka teriakkan.
Aku masuk rumah pak Darmo, pandangan heran juga masih tertuju kepadaku, kali ini kupelankan langkah kakiku.
Daniel ternyata berdiri di sudut ruangan besar rumah pak Darmo, tapi ekspresinya tampak tegang dan gelisah,jangan-jangan…
“Daniel, aku butuh pendapatmu, sepertinya kamu merasakan hal yang sama sepertiku ya,”
“Eh, bentar-bentar,” Daniel menyela tanpa memandang sedikitpun ke arahku, raut wajahnya masih sangat tegang, dan mulutnya komat-kamit menggumamkan sesuatu, seperti menghafal sesuatu atau seperti berdoa. Doa untuk menenangkan hati? Entahlah.
Ternyata Daniel terlalu berkonsentrasi, ia sempat menyadari keberadaanku, tetapi tetap sibuk dengan komat kamitnya.
“Eh, kamu sedang apa di sini, ayo balik, sana-sana,” Daniel hanya memandangku sekilas saja, sepertinya masih sangat berkonsentrasi pada hal lain dan setengah mendorong ia membalikkan badanku dan mengusirku dari dekatnya, sepertinya ia juga tidak mendengar kata-kataku tadi.
Oh tidak, jangan-jangan ia mau lari. Doanya tak berhasil menenangkannya dan ia berencana lari dari pernikahan ini, itu sebabnya ia mengusirku, agar ia bisa segera pergi, tapi bagaimana dengan keluarganya yang sudah terlanjur kesini? Batinku berburuk sangka, perasaanku semakin tidak karuan, tapi aku tetap berlalu menuruti perintah Daniel. Tamat sudah asaku. Aku kembali ke bu Sani dengan lunglai dan dari ekspresiku, bu Sani tahu aku tak menyelesaikan masalahku, tapi ia tetap melanjutkan make-upku, tanpa bertanya dan tanpa berkata-kata.
Menjelang akad nikah
Aku duduk menunduk di samping Daniel, papa dan penghulu di depan kami, sementara para saksi di samping kami. Aku tak sanggup mengangkat kepalaku, apalagi memandang ke arah Daniel.
Kutbah, bacaan Quran dan doa sudah dibacakan,
“Bagaimana Mas Daniel, sudah siap, atau mau latihan dulu?” Tanya Pak Penghulu.
Daniel masih menampakkan wajah tegang seperti terakhir aku melihatnya, lalu ia menjawab,“Eh, sepertinya tak perlu Pak, tapi ada sesuatu yang mau saya sampaikan kepada Pak Chandra.”
Ini dia, batinku, Daniel gagal melarikan diri dan hendak meminta berhenti sekarang. Aku menunduk semakin dalam, ada setetes air mata jatuh dari mataku. Dengan semua keraguanku, seharusnya aku ikut senang kalau semua ini berakhir sekarang, tapi entah mengapa aku semakin sedih, batinku heran.
“Ada sedikit puisi yang kubuat dan ingin kusampaikan kepada Bapak… ehm, begini…”
Daniel berkata sambil menunduk gelisah, seperti mengumpulkan seluruh keberaniannya. Lalu ia mendongak dan memandang mata ayah dan melanjutkan kalimatnya,
“Bapak Chandra, saya mungkin tak mampu melindungi Dania
Sebaik engkau telah menjaganya
Tapi aku berjanji tak akan melukai
Badan, hati, dan jiwanya
Bukan hanya karena aku terlalu mencintainya
Tapi aku terlalu mencintai ALLAH
Untuk membuatnya murka dengan melukai amanahNYA
Dan aku juga akan menenangkan hati dan jiwanya
Bukan karena itu hal yang harus kulakukan sebagai suami
Tapi karena janjinya untuk patuh dan melakukan segalanya untukku sebagai istri
Bukan untuk diriku
Tapi untuk rhido ALLAH
Maka dengan semua harapan itu
Ijinkan aku menggantikanmu untuk menjaganya
Dan agar ia dapat menemaniku
Sepanjang usiaku
Sampai tiba saatnya nanti
pertemuan kami kembali dengan ILAHI”
Air mata yang menetes dalam tundukku semakin banyak, tapi ada sebuah senyum di bibirku, ada sebuah senyum di hatiku.
Ternyata hari ini aku tidak hanya menikah dengan sahabatku tapi juga dengan seorang pria yang mencintaiku semata-mata mengharap ridho ALLAH.
Setelah ijab kabul diucapkan dan dianggap sah, ia menoleh kearahku, mengulurkan tisue untuk mengusap air mataku dan tersenyum, senyum kemenangan yang kekanak-kanakan, didekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, “meskipun sampai tua nanti, engkau tetap panikan, ceroboh, dan cengeng, aku akan selalu disisimu…” Lalu bibirnya berpindah dari telinga ke keningku. Keluarga yang menyaksikan kami serempak menggemakan hwaaaa, suuit, dan wihui, dengan gaduh.
Jika dikemudian hari ada orang yang bertanya padaku, hari apa yang paling membahagiakan dalam hidupku, adalah hari ini, hari pernikahanku…
Debby, Malang, Mei 2009