Alkisah, seorang raja diminta untuk membawa mayat dari tempat penggantungan, ke tempat pendeta. Di tengah jalan, mayat itu berkata, “hai raja, kasihan sekali anda ini, jauh-jauh membawa saya. Supaya kau tidak lelah, bagaimana kalau aku bercerita?” dan mayatpun berkisah: Suatu ketika, hidup seorang pendeta bersama putrinya yang amat cantik. Satu hari, datang tiga orang pendeta yang semuanya berwajah tampan. Ketiganya berkata, “kalau perempuan ini sampai kepada orang lain, tidak kepada saya, saya akan bunuh diri.”
Calon mertua bingung. Bila ia memberikan putrinya kepada salah satu dari pendeta itu, maka akan terjadi dua pembunuhan. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba si gadis meninggal. Dibawalah gadis itu ketempat pembakaran mayat. Masing-masing pendeta tampan yang mencintai gadis itu menunjukkan perilaku yang berbeda.
Pendeta pertama duduk di atas bekas pembakaran mayat. Ia membuat gubuk dan menetap di sana terus-menerus. Ia tidak meninggalkan tempat itu. Tak berhenti ia melantunkan doa pujian untuknya.
Pendeta yang kedua pergi ke sungai Gangga untuk melaburkan tulang belulang dalam rangka menyempurnakan kematiannya. Sesuai tradisi hindu, seseorang melaburkan tulang belulang orang tuanya yang meninggal sebagai tanda kecintaannya.
Adapun pendeta yang ketiga, ia pergi berkelana ke mana-mana sampai akhirnya ia bertamu ke rumah keluarga seorang pendeta tua. Ketika ia dijamu makan oleh keluarga itu, anak si tuan rumah menangis keras. Ibunya marah. Dijewernya telinga anak itu dan dilemparkannya ke dalam api. Anak itu meninggal dan langsung menjadi debu. Pendeta pengelana berkata, “aku tidak mau makan di sini. Kalian bukan pendeta. Kalian durjana. Manusia raksasa yang menyamar menjadi pendeta!” orang tua itu berkata, “Jangan terburu nafsu. “Ia lalu masuk ke dalam kamarnya untuk membawa kitab suci. Begitu kitab suci dibacakan, anak itu hidup lagi seperti sediakala. Barulah pendeta pengelana itu mau melanjutkan makannya. Pada malam hari, pendeta ketiga ini mencuri kitab suci tersebut untuk menghidupkan kembali kekasihnya.
Singkat cerita, ia sampai ke tempat pembakaran mayat gadis tersebut. Ia datang bersamaan dengan pencinta kedua yang melaburkan tulang ke sungai gangga. Pendeta ketiga meminta pendeta pertama yang mendirikan gubuk untuk memindahkan gubuk itu dengan alasan bila gadis itu hidup kembali, ia tak ingin gadis itu menabrak gubuk. Lalu, dibacakanlah doa dari kitab suci. Ndilalah kersaning Allah, putri itu muncul kembali dan lebih cantik dari sebelumnya. Tak ubahnya sepotong emas yang baru disepuh dari pembakaran, lebih cemerlang dan indah.
Tentu saja ketiga pendeta itu berbahagia. Tapi semua lalu merasa dirinyalah yang paling berhak untuk menikahi gadis itu. Pendeta pertama berkata, “sayalah yang menungguinya siang malam seraya melantunkan doa pujian untuknya.” Pendeta kedua berujar, “sayalah yang melaburkan tulang belulangnya di gangga.” Sementara pendeta ketiga berdalih, “Sayalah yang membacakan doa hingga ia hidup kembali.”
Sampai di sini, mayat pendongeng di atas menghentikan ceritanya. Lalu ia betanya kepada raja yang membawanya, “wahai raja, tolong beri penjelasan kepada saya, siapakah yang paling berhak menjadi suaminya? Kalau kau tidak bisa menjawab, akan kupatahkan lehermu.” Raja menjawab, “pendeta ketiga yang menghidupkannya kembali berada dalam posisi bapak. Pendeta kedua, yang melaburkan tulang belulang di gangga, telah melakukan pengabdian. Karena itu, ia lebih pantas menjadi anaknya, yang lebih berhak menjadi suaminya adalah pendeta pertama yang terus menerus berada di tempat pembakaran mayatnya. Ia tetap mencintai gadis itu walaupaun si gadis sudah menjadi debu; walaupun ia tidak bisa melihat lagi senyumannya; walaupun ia tidak bisa mendengar lagi suaranya. Ia tetap setia menunggu di tempat itu sampai kapan pun.
Mestinya seperti itulah kita mencintai Allah. Kita tetap mencintai walaupun kita tidak merasakan kebaikanNya, kebaikanNya tak sampai pada kita. Orang yang sering frustasi sepanjang hidupnya, biasanya akan mempersoalkan keadilan Allah. Sementara orang yang makmur akan lebih mudah merasakan anugrahNya. Orang yang susah hidupnya mungkin amat sulit merasakan kebaikan Allah kepadanya ketimbang orang-orang yang senang hidupnya.
JALALUDDIN RAKHMAT.
MERAIH CINTA ILAHI, PENCERAHAN SUFISTIK
Rabu, Juli 01, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar